Dalam sejarah awal perkembangannya,
pengertian bilangan prima adalah bagian dari himpunan bilangan bulat positif
lebih dari 1 dan hanya mempunyai dua faktor, yaitu 1 dan bilangan itu sendiri.
Jika definisinya diperluas menjadi himpunan bilangan bulat, maka dikenal
bilangan prima negatif dan bilangan prima positif. Bilangan-bilangan selain
bilangan prima disebut bilangan komposit. Cara yang paling sederhana untuk
menentukan bilangan prima dalam suatu rentang tertentu adalah dengan
menggunakan Sieve of Erastosthenes (Saringan Erastothenes). Bilangan prima
dapat disebut sebagai batu pembangun bilangan bulat positif seperti yang sudah
dibuktukan dalam Teorema Fundamental Aritmetik.
Dalam beberapa usaha penemuan yang
bertujuan mengkaji hubungan antar bilangan prima, dikenal pula bilangan prima
kembar (twin primes) yang merupakan pasangan bilangan prima yang memenuhi
kaidah p dan p+2 dengan p adalah bilangan prima. Sebagai contoh, 3 dan 5, 11
dan 13, 29 dan 31.
Sejarah bilangan prima dimulai pada
zaman Mesir Kuno dengan ditemukannya sebuah catatan yang menyatakan penggunaan
bilangan prima pada zaman tersebut. Namun, bilangan prima dan komposit pada
saat itu berbeda dengan bilangan prima dan komposit yang kita kenal sekarang.
Bukti lain permulaan sejarah bilangan prima adalah sebuah catatan penelitian
bilangan prima oleh bangsa Yunani Kuno.
Dalam sejarah Yunani Kuno,
Pythagoras (570 SM-500 SM) terkenal melalui ‘Theorem of Pythagoras’ dan
memunculkan Pythagorean Triples yang sebenarnya sudah ada sejak 1000 tahun
sebelum masa Pythagoras. Sebelumnya, bangsa Babilonia telah mengenal
Pythagorean Triples tersebut dengan nama Babylonian triples. Babylonian Triples
terdapat dalam Plimpton 322 yang diperkirakan berasal dari tahun 1900 SM.
Terdapat perbedaan antara Pythagorean Triples dengan Babylonian Triples. Pada
Babylonian Triples disyaratkan bahwa u dan v sebagai generator 2uv, u2-v2
dan u2+v2 yang merupakan ukuran sisi-sisi segitiga siku-siku,
harus relatif prima dan tidak mempunyai faktor prima selain 2, 3 atau 5.
Sebagai contoh, 56, 90 dan 106 adalah Babylonian Triples karena u=9 dan v=5.
Contoh lain, 28, 45 dan 53 adalah Pythagorean Triples, tetapi bukan Babylonian
Triples karena u=7 dan u memiliki faktor prima 7.
Bilangan prima dalam Rumusan
Bilangan Sempurna terdapat pada karya Euclid dalam buku IX Elements (300 SM)
yang berisi beberapa teorema penting mengenai bilangan prima, termasuk
ketakberhinggaan bilangan prima dan teorema fundamental aritmatik. Euclid juga
memperlihatkan cara menyusun sebuah bilangan sempurna (perfect number) dari
sebuah bilangan prima Mersenne yang ditemukan kemudian. Bilangan prima Mersenne
adalah sebuah bilangan prima dengan rumus Mn=2n-1. Dalam
karya Euclid tersebut, terdapat proporsi bahwa ‘jika 2n-1 adalah bilangan prima
maka (2n-1)+(2n-1) adalah bilangan sempurna. Pada masa itu, bangsa Yunani telah
menemukan 4 bilangan sempurna, yaitu 6, 28, 496 dan 8128. Berkaitan dengan
bilangan sempurna, sekitar 2000 tahun kemudian seorang matematikawan, Euler
pada tahun 1947 telah mampu menunjukkan bahwa semua bilangan sempurna adalah
genap. Hal ini disebut Konjektur Goldbach. Dalam Konjektur Goldbach, berbunyi
‘setiap bilangan bulat genap lebih besar dari atau sama dengan 4 dapat ditulis
sebagai jumlah dari dua bilangan prima’. Konjektur Goldbach adalah salah satu
persoalan yang belum terpecahkan dalam teori angka dan bahkan dalam matematika
secara keseluruhan. Konjektur Goldbach pertama kali disebut oleh Christian Goldbach
dalam suratnya kepada Euler pada tahun 1942. Dalam suratnya, Goldbach
mengemukakan bahwa bilangan genap lebih dari atau sama dengan 4 dapat ditulis
sebagai hasil penjumlahan dua bilangan prima, tetapi dia tidak berhasil
membuktikan kebenarannya.
Pada teorema ke-20 dari buku IX The
Elements Euclide menyatakan bahwa ‘tidak ada bilangan prima yang terakhir’.
Pernyataan ini menunjukkan ketakberhinggaan bilangan prima yang dibuktikan
Euclid dengan menggunakan cara pembuktian kontradiksi, yang merupakan pertama
kali dalam sejarah matematika. Selain itu, Euclid juga memberikan bukti Teorema
Fundamental Aritmetika, yaitu ‘setiap bilangan bulat dapat ditulis sebagai
hasil kali bilanngan-bilangan prima dalam sebuah bentuk dasar yang unik’.
Bukti selanjutnya adalah Sieve of
Eratosthenes (Saringan Eratosthenes), yaitu cara untuk menentukan bilangan
prima dalam suatu rentang tertentu. Saringan ini ditemukan oleh Eratosthenes,
seorang ilmuan Yunani Kuno. Eratosthenes lahir di Cyrene (Libya), tetapi
bekerja dan meninggal di Alexandria. Dia tidak pernah menikah dan dikenal
sombong. Dia belajar di Alexandria dan untuk beberapa tahun di Athena. Pada 236
SM, ia ditunjuk oleh Ptolemy III Euergetes I sebagai pustakawan Perpustakaan
Alexandria, menggantikan Zenodotos. Sekitar tahun 255 SM, ia menciptakan bola
armilar yang digunakan secara luas hingga diciptakannya oreri pada abad 18.
Pada 195 SM, ia mengalami kebutaan dan selama setahun membiarkan dirinya
kelaparan hingga meninggal. Ia dicatat oleh Cleomedes dalam On the Circular
Motions of the Celestial Bodies sebagai orang yang telah menghitung keliling
Bumi pada tahun 240 SM, menggunakan metode trigonometri dan pengetahuan
mengenai sudut kemiringan Matahari saat tengah hari di Alexandria dan Syene
(Aswan, Mesir).
Saringan Eratosthenes merupakan cara
paling sederhana dan paling cepat untuk menemukan bilangan prima sebelum
ditemukan Saringan Atkin pada tahun 2004. Saringan Atkin merupakan cara yang
lebih cepat, namun lebih rumit dibandingkan dengan Saringan Eratosthenes.
Misalkan kita akan menentukan semua bilangan prima antara 1 sampai n
menggunakan Saringan Eratosthenes, langkah-langkahnya adalah
1. Tulis semua bilangan antara 1 sampai n, sebut daftar
A.
2. Buat daftar yang masih kosong, misal daftar B.
3. Coret bilangan 1 dari daftar A.
4. Tulis 2 pada daftar B, lalu coret 2 dan semua
kelipatannya dari daftar A.
5. Bilangan pertama yang belum dicoret dari daftar A
(misalnya 3) adalah bilangan prima. Tulis di daftar B, lalu coret bilangan ini
dan semua kelipatannya.
6. Ulangi langkah 4 sampai semua bilangan di daftar A
tercoret.
7. Semua bilangan di daftar B adalah bilangan prima.
kembali setelah berabad-abad berhenti.
Pada tahun 1640, Pieere de Fermat
berhasil membuat Teorema Kecil fermat (Fermat’s Little Theorem) yang kemudian
dibuktikan oleh Leibniz.
Pada abad XVII, penelitian terhadap
bilangan prima dilanjutkan Euler. Lama setelah itu, Euler menemukan kekurangan
pada teorema ini. Seorang matematikawan Perancis, Marin Mersenne (1588-1648)
kemudian membuat suatu bentuk baru dari bilangan prima yang diberi nama
bilangan prima Mersenne (Mersenne Prime). Cara penentuannya pun belum sempurna
karena diantaranya terdapat beberapa prima semu.
Sampai abad XIX, masih banyak
matematikawan yang beranggapan bahwa 1 adalah bilangan prima, dari definisi
bilangan prima adalah bilangan yang habis dibagi 1 dan bilangan itu sendiri
tanpa membatasi jumlah pembagi. Pada abad XIX, Legendre dan Gauss membuat
sebuah konjektural untuk menghitung banyaknya bilangan prima yang kurang dari
atau sama dengan suatu bilangan dan dibuktikan pada tahun 1896 dan berganti
nama menjadi Teorema Bilangan Prima (Prime Number Theorem). Sebelumnya pada
tahun 1859, Riemann juga mencoba membuktikan konjektural tersebut menggunakan
fungsi zeta.
Pencarian bilangan prima terus
berlanjut. Banyak matematikawan yang meneliti tentang tes bilangan prima.
Sebagai contoh, Pepin’s test untuk bilangan Fermat (1877), Lucas-Lehmer test
untuk bilangan Mersenne (1856), dan Lucas-Lehmer test yang digeneralisasikan.
Pada abad XX, penggunaan bilangan
prima di luar bidang matematika mulai dikembangkan. Pada era 1970-an, ketika
konsep kriptografi ditemukan, bilangan prima menjadi salah satu dasar pembuatan
kunci algoritma enkripsi seperti RSA.
Banyaknya bilangan prima tak
terhingga, berapa pun banyaknya kita menghitung, pasti akan menemukan bilangan
prima. Hal ini menjadi teka-teki, jika mengingat bilangan prima tidak dapat
dibagi oleh bilangan lainnya. Salah satu hal yang menakjubkan adalah dalam era komputer,
kita memberikan kodetifikasi untuk semua hal yang penting dan rahasia dalam
angka jutaan bilangan-bilangan yang tidak habis dibagi oleh angka lainnya. Ini
diperlukan karena dengan penggunaan angka lain, kodetifikasi tadi dapat dengan
mudah ditembus.
Fenomena inilah yang ditemukan oleh
ilmuan dari Duesseldorf (Dr. Plichta), sehubungan dengan penciptaan alam, yaitu
distribusi misterius bilangan prima. Para ilmuan sudah lama percaya bahwa
bilangan prima adalah bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua makhluk
sebagai komunikasi dasar. Bahasa ini penuh misteri karena berhubungan dengan
perencanaan universal kosmos.