Senin, 31 Desember 2012

Sejarah Bilangan Prima

Diposting oleh Unknown di 15.16


Dalam sejarah awal perkembangannya, pengertian bilangan prima adalah bagian dari himpunan bilangan bulat positif lebih dari 1 dan hanya mempunyai dua faktor, yaitu 1 dan bilangan itu sendiri. Jika definisinya diperluas menjadi himpunan bilangan bulat, maka dikenal bilangan prima negatif dan bilangan prima positif. Bilangan-bilangan selain bilangan prima disebut bilangan komposit. Cara yang paling sederhana untuk menentukan bilangan prima dalam suatu rentang tertentu adalah dengan menggunakan Sieve of Erastosthenes (Saringan Erastothenes). Bilangan prima dapat disebut sebagai batu pembangun bilangan bulat positif seperti yang sudah dibuktukan dalam Teorema Fundamental Aritmetik.
Dalam beberapa usaha penemuan yang bertujuan mengkaji hubungan antar bilangan prima, dikenal pula bilangan prima kembar (twin primes) yang merupakan pasangan bilangan prima yang memenuhi kaidah p dan p+2 dengan p adalah bilangan prima. Sebagai contoh, 3 dan 5, 11 dan 13, 29 dan 31.
Sejarah bilangan prima dimulai pada zaman Mesir Kuno dengan ditemukannya sebuah catatan yang menyatakan penggunaan bilangan prima pada zaman tersebut. Namun, bilangan prima dan komposit pada saat itu berbeda dengan bilangan prima dan komposit yang kita kenal sekarang. Bukti lain permulaan sejarah bilangan prima adalah sebuah catatan penelitian bilangan prima oleh bangsa Yunani Kuno.
Dalam sejarah Yunani Kuno, Pythagoras (570 SM-500 SM) terkenal melalui ‘Theorem of Pythagoras’ dan memunculkan Pythagorean Triples yang sebenarnya sudah ada sejak 1000 tahun sebelum masa Pythagoras. Sebelumnya, bangsa Babilonia telah mengenal Pythagorean Triples tersebut dengan nama Babylonian triples. Babylonian Triples terdapat dalam Plimpton 322 yang diperkirakan berasal dari tahun 1900 SM. Terdapat perbedaan antara Pythagorean Triples dengan Babylonian Triples. Pada Babylonian Triples disyaratkan bahwa u dan v sebagai generator 2uv, u2-v2 dan u2+v2 yang merupakan ukuran sisi-sisi segitiga siku-siku, harus relatif prima dan tidak mempunyai faktor prima selain 2, 3 atau 5. Sebagai contoh, 56, 90 dan 106 adalah Babylonian Triples karena u=9 dan v=5. Contoh lain, 28, 45 dan 53 adalah Pythagorean Triples, tetapi bukan Babylonian Triples karena u=7 dan u memiliki faktor prima 7.
Bilangan prima dalam Rumusan Bilangan Sempurna terdapat pada karya Euclid dalam buku IX Elements (300 SM) yang berisi beberapa teorema penting mengenai bilangan prima, termasuk ketakberhinggaan bilangan prima dan teorema fundamental aritmatik. Euclid juga memperlihatkan cara menyusun sebuah bilangan sempurna (perfect number) dari sebuah bilangan prima Mersenne yang ditemukan kemudian. Bilangan prima Mersenne adalah sebuah bilangan prima dengan rumus Mn=2n-1. Dalam karya Euclid tersebut, terdapat proporsi bahwa ‘jika 2n-1 adalah bilangan prima maka (2n-1)+(2n-1) adalah bilangan sempurna. Pada masa itu, bangsa Yunani telah menemukan 4 bilangan sempurna, yaitu 6, 28, 496 dan 8128. Berkaitan dengan bilangan sempurna, sekitar 2000 tahun kemudian seorang matematikawan, Euler pada tahun 1947 telah mampu menunjukkan bahwa semua bilangan sempurna adalah genap. Hal ini disebut Konjektur Goldbach. Dalam Konjektur Goldbach, berbunyi ‘setiap bilangan bulat genap lebih besar dari atau sama dengan 4 dapat ditulis sebagai jumlah dari dua bilangan prima’. Konjektur Goldbach adalah salah satu persoalan yang belum terpecahkan dalam teori angka dan bahkan dalam matematika secara keseluruhan. Konjektur Goldbach pertama kali disebut oleh Christian Goldbach dalam suratnya kepada Euler pada tahun 1942. Dalam suratnya, Goldbach mengemukakan bahwa bilangan genap lebih dari atau sama dengan 4 dapat ditulis sebagai hasil penjumlahan dua bilangan prima, tetapi dia tidak berhasil membuktikan kebenarannya.
Pada teorema ke-20 dari buku IX The Elements Euclide menyatakan bahwa ‘tidak ada bilangan prima yang terakhir’. Pernyataan ini menunjukkan ketakberhinggaan bilangan prima yang dibuktikan Euclid dengan menggunakan cara pembuktian kontradiksi, yang merupakan pertama kali dalam sejarah matematika. Selain itu, Euclid juga memberikan bukti Teorema Fundamental Aritmetika, yaitu ‘setiap bilangan bulat dapat ditulis sebagai hasil kali bilanngan-bilangan prima dalam sebuah bentuk dasar yang unik’.
Bukti selanjutnya adalah Sieve of Eratosthenes (Saringan Eratosthenes), yaitu cara untuk menentukan bilangan prima dalam suatu rentang tertentu. Saringan ini ditemukan oleh Eratosthenes, seorang ilmuan Yunani Kuno. Eratosthenes lahir di Cyrene (Libya), tetapi bekerja dan meninggal di Alexandria. Dia tidak pernah menikah dan dikenal sombong. Dia belajar di Alexandria dan untuk beberapa tahun di Athena. Pada 236 SM, ia ditunjuk oleh Ptolemy III Euergetes I sebagai pustakawan Perpustakaan Alexandria, menggantikan Zenodotos. Sekitar tahun 255 SM, ia menciptakan bola armilar yang digunakan secara luas hingga diciptakannya oreri pada abad 18. Pada 195 SM, ia mengalami kebutaan dan selama setahun membiarkan dirinya kelaparan hingga meninggal. Ia dicatat oleh Cleomedes dalam On the Circular Motions of the Celestial Bodies sebagai orang yang telah menghitung keliling Bumi pada tahun 240 SM, menggunakan metode trigonometri dan pengetahuan mengenai sudut kemiringan Matahari saat tengah hari di Alexandria dan Syene (Aswan, Mesir).
Saringan Eratosthenes merupakan cara paling sederhana dan paling cepat untuk menemukan bilangan prima sebelum ditemukan Saringan Atkin pada tahun 2004. Saringan Atkin merupakan cara yang lebih cepat, namun lebih rumit dibandingkan dengan Saringan Eratosthenes. Misalkan kita akan menentukan semua bilangan prima antara 1 sampai n menggunakan Saringan Eratosthenes, langkah-langkahnya adalah
1.       Tulis semua bilangan antara 1 sampai n, sebut daftar A.
2.       Buat daftar yang masih kosong, misal daftar B.
3.       Coret bilangan 1 dari daftar A.
4.       Tulis 2 pada daftar B, lalu coret 2 dan semua kelipatannya dari daftar A.
5.       Bilangan pertama yang belum dicoret dari daftar A (misalnya 3) adalah bilangan prima. Tulis di daftar B, lalu coret bilangan ini dan semua kelipatannya.
6.       Ulangi langkah 4 sampai semua bilangan di daftar A tercoret.
7.       Semua bilangan di daftar B adalah bilangan prima. kembali setelah berabad-abad berhenti.
Pada tahun 1640, Pieere de Fermat berhasil membuat Teorema Kecil fermat (Fermat’s Little Theorem) yang kemudian dibuktikan oleh Leibniz.
Pada abad XVII, penelitian terhadap bilangan prima dilanjutkan Euler. Lama setelah itu, Euler menemukan kekurangan pada teorema ini. Seorang matematikawan Perancis, Marin Mersenne (1588-1648) kemudian membuat suatu bentuk baru dari bilangan prima yang diberi nama bilangan prima Mersenne (Mersenne Prime). Cara penentuannya pun belum sempurna karena diantaranya terdapat beberapa prima semu.
Sampai abad XIX, masih banyak matematikawan yang beranggapan bahwa 1 adalah bilangan prima, dari definisi bilangan prima adalah bilangan yang habis dibagi 1 dan bilangan itu sendiri tanpa membatasi jumlah pembagi. Pada abad XIX, Legendre dan Gauss membuat sebuah konjektural untuk menghitung banyaknya bilangan prima yang kurang dari atau sama dengan suatu bilangan dan dibuktikan pada tahun 1896 dan berganti nama menjadi Teorema Bilangan Prima (Prime Number Theorem). Sebelumnya pada tahun 1859, Riemann juga mencoba membuktikan konjektural tersebut menggunakan fungsi zeta.
Pencarian bilangan prima terus berlanjut. Banyak matematikawan yang meneliti tentang tes bilangan prima. Sebagai contoh, Pepin’s test untuk bilangan Fermat (1877), Lucas-Lehmer test untuk bilangan Mersenne (1856), dan Lucas-Lehmer test yang digeneralisasikan.
Pada abad XX, penggunaan bilangan prima di luar bidang matematika mulai dikembangkan. Pada era 1970-an, ketika konsep kriptografi ditemukan, bilangan prima menjadi salah satu dasar pembuatan kunci algoritma enkripsi seperti RSA.
Banyaknya bilangan prima tak terhingga, berapa pun banyaknya kita menghitung, pasti akan menemukan bilangan prima. Hal ini menjadi teka-teki, jika mengingat bilangan prima tidak dapat dibagi oleh bilangan lainnya. Salah satu hal yang menakjubkan adalah dalam era komputer, kita memberikan kodetifikasi untuk semua hal yang penting dan rahasia dalam angka jutaan bilangan-bilangan yang tidak habis dibagi oleh angka lainnya. Ini diperlukan karena dengan penggunaan angka lain, kodetifikasi tadi dapat dengan mudah ditembus.
Fenomena inilah yang ditemukan oleh ilmuan dari Duesseldorf (Dr. Plichta), sehubungan dengan penciptaan alam, yaitu distribusi misterius bilangan prima. Para ilmuan sudah lama percaya bahwa bilangan prima adalah bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua makhluk sebagai komunikasi dasar. Bahasa ini penuh misteri karena berhubungan dengan perencanaan universal kosmos.

0 komentar on "Sejarah Bilangan Prima"

Posting Komentar

Senin, 31 Desember 2012

Sejarah Bilangan Prima

Diposting oleh Unknown di 15.16


Dalam sejarah awal perkembangannya, pengertian bilangan prima adalah bagian dari himpunan bilangan bulat positif lebih dari 1 dan hanya mempunyai dua faktor, yaitu 1 dan bilangan itu sendiri. Jika definisinya diperluas menjadi himpunan bilangan bulat, maka dikenal bilangan prima negatif dan bilangan prima positif. Bilangan-bilangan selain bilangan prima disebut bilangan komposit. Cara yang paling sederhana untuk menentukan bilangan prima dalam suatu rentang tertentu adalah dengan menggunakan Sieve of Erastosthenes (Saringan Erastothenes). Bilangan prima dapat disebut sebagai batu pembangun bilangan bulat positif seperti yang sudah dibuktukan dalam Teorema Fundamental Aritmetik.
Dalam beberapa usaha penemuan yang bertujuan mengkaji hubungan antar bilangan prima, dikenal pula bilangan prima kembar (twin primes) yang merupakan pasangan bilangan prima yang memenuhi kaidah p dan p+2 dengan p adalah bilangan prima. Sebagai contoh, 3 dan 5, 11 dan 13, 29 dan 31.
Sejarah bilangan prima dimulai pada zaman Mesir Kuno dengan ditemukannya sebuah catatan yang menyatakan penggunaan bilangan prima pada zaman tersebut. Namun, bilangan prima dan komposit pada saat itu berbeda dengan bilangan prima dan komposit yang kita kenal sekarang. Bukti lain permulaan sejarah bilangan prima adalah sebuah catatan penelitian bilangan prima oleh bangsa Yunani Kuno.
Dalam sejarah Yunani Kuno, Pythagoras (570 SM-500 SM) terkenal melalui ‘Theorem of Pythagoras’ dan memunculkan Pythagorean Triples yang sebenarnya sudah ada sejak 1000 tahun sebelum masa Pythagoras. Sebelumnya, bangsa Babilonia telah mengenal Pythagorean Triples tersebut dengan nama Babylonian triples. Babylonian Triples terdapat dalam Plimpton 322 yang diperkirakan berasal dari tahun 1900 SM. Terdapat perbedaan antara Pythagorean Triples dengan Babylonian Triples. Pada Babylonian Triples disyaratkan bahwa u dan v sebagai generator 2uv, u2-v2 dan u2+v2 yang merupakan ukuran sisi-sisi segitiga siku-siku, harus relatif prima dan tidak mempunyai faktor prima selain 2, 3 atau 5. Sebagai contoh, 56, 90 dan 106 adalah Babylonian Triples karena u=9 dan v=5. Contoh lain, 28, 45 dan 53 adalah Pythagorean Triples, tetapi bukan Babylonian Triples karena u=7 dan u memiliki faktor prima 7.
Bilangan prima dalam Rumusan Bilangan Sempurna terdapat pada karya Euclid dalam buku IX Elements (300 SM) yang berisi beberapa teorema penting mengenai bilangan prima, termasuk ketakberhinggaan bilangan prima dan teorema fundamental aritmatik. Euclid juga memperlihatkan cara menyusun sebuah bilangan sempurna (perfect number) dari sebuah bilangan prima Mersenne yang ditemukan kemudian. Bilangan prima Mersenne adalah sebuah bilangan prima dengan rumus Mn=2n-1. Dalam karya Euclid tersebut, terdapat proporsi bahwa ‘jika 2n-1 adalah bilangan prima maka (2n-1)+(2n-1) adalah bilangan sempurna. Pada masa itu, bangsa Yunani telah menemukan 4 bilangan sempurna, yaitu 6, 28, 496 dan 8128. Berkaitan dengan bilangan sempurna, sekitar 2000 tahun kemudian seorang matematikawan, Euler pada tahun 1947 telah mampu menunjukkan bahwa semua bilangan sempurna adalah genap. Hal ini disebut Konjektur Goldbach. Dalam Konjektur Goldbach, berbunyi ‘setiap bilangan bulat genap lebih besar dari atau sama dengan 4 dapat ditulis sebagai jumlah dari dua bilangan prima’. Konjektur Goldbach adalah salah satu persoalan yang belum terpecahkan dalam teori angka dan bahkan dalam matematika secara keseluruhan. Konjektur Goldbach pertama kali disebut oleh Christian Goldbach dalam suratnya kepada Euler pada tahun 1942. Dalam suratnya, Goldbach mengemukakan bahwa bilangan genap lebih dari atau sama dengan 4 dapat ditulis sebagai hasil penjumlahan dua bilangan prima, tetapi dia tidak berhasil membuktikan kebenarannya.
Pada teorema ke-20 dari buku IX The Elements Euclide menyatakan bahwa ‘tidak ada bilangan prima yang terakhir’. Pernyataan ini menunjukkan ketakberhinggaan bilangan prima yang dibuktikan Euclid dengan menggunakan cara pembuktian kontradiksi, yang merupakan pertama kali dalam sejarah matematika. Selain itu, Euclid juga memberikan bukti Teorema Fundamental Aritmetika, yaitu ‘setiap bilangan bulat dapat ditulis sebagai hasil kali bilanngan-bilangan prima dalam sebuah bentuk dasar yang unik’.
Bukti selanjutnya adalah Sieve of Eratosthenes (Saringan Eratosthenes), yaitu cara untuk menentukan bilangan prima dalam suatu rentang tertentu. Saringan ini ditemukan oleh Eratosthenes, seorang ilmuan Yunani Kuno. Eratosthenes lahir di Cyrene (Libya), tetapi bekerja dan meninggal di Alexandria. Dia tidak pernah menikah dan dikenal sombong. Dia belajar di Alexandria dan untuk beberapa tahun di Athena. Pada 236 SM, ia ditunjuk oleh Ptolemy III Euergetes I sebagai pustakawan Perpustakaan Alexandria, menggantikan Zenodotos. Sekitar tahun 255 SM, ia menciptakan bola armilar yang digunakan secara luas hingga diciptakannya oreri pada abad 18. Pada 195 SM, ia mengalami kebutaan dan selama setahun membiarkan dirinya kelaparan hingga meninggal. Ia dicatat oleh Cleomedes dalam On the Circular Motions of the Celestial Bodies sebagai orang yang telah menghitung keliling Bumi pada tahun 240 SM, menggunakan metode trigonometri dan pengetahuan mengenai sudut kemiringan Matahari saat tengah hari di Alexandria dan Syene (Aswan, Mesir).
Saringan Eratosthenes merupakan cara paling sederhana dan paling cepat untuk menemukan bilangan prima sebelum ditemukan Saringan Atkin pada tahun 2004. Saringan Atkin merupakan cara yang lebih cepat, namun lebih rumit dibandingkan dengan Saringan Eratosthenes. Misalkan kita akan menentukan semua bilangan prima antara 1 sampai n menggunakan Saringan Eratosthenes, langkah-langkahnya adalah
1.       Tulis semua bilangan antara 1 sampai n, sebut daftar A.
2.       Buat daftar yang masih kosong, misal daftar B.
3.       Coret bilangan 1 dari daftar A.
4.       Tulis 2 pada daftar B, lalu coret 2 dan semua kelipatannya dari daftar A.
5.       Bilangan pertama yang belum dicoret dari daftar A (misalnya 3) adalah bilangan prima. Tulis di daftar B, lalu coret bilangan ini dan semua kelipatannya.
6.       Ulangi langkah 4 sampai semua bilangan di daftar A tercoret.
7.       Semua bilangan di daftar B adalah bilangan prima. kembali setelah berabad-abad berhenti.
Pada tahun 1640, Pieere de Fermat berhasil membuat Teorema Kecil fermat (Fermat’s Little Theorem) yang kemudian dibuktikan oleh Leibniz.
Pada abad XVII, penelitian terhadap bilangan prima dilanjutkan Euler. Lama setelah itu, Euler menemukan kekurangan pada teorema ini. Seorang matematikawan Perancis, Marin Mersenne (1588-1648) kemudian membuat suatu bentuk baru dari bilangan prima yang diberi nama bilangan prima Mersenne (Mersenne Prime). Cara penentuannya pun belum sempurna karena diantaranya terdapat beberapa prima semu.
Sampai abad XIX, masih banyak matematikawan yang beranggapan bahwa 1 adalah bilangan prima, dari definisi bilangan prima adalah bilangan yang habis dibagi 1 dan bilangan itu sendiri tanpa membatasi jumlah pembagi. Pada abad XIX, Legendre dan Gauss membuat sebuah konjektural untuk menghitung banyaknya bilangan prima yang kurang dari atau sama dengan suatu bilangan dan dibuktikan pada tahun 1896 dan berganti nama menjadi Teorema Bilangan Prima (Prime Number Theorem). Sebelumnya pada tahun 1859, Riemann juga mencoba membuktikan konjektural tersebut menggunakan fungsi zeta.
Pencarian bilangan prima terus berlanjut. Banyak matematikawan yang meneliti tentang tes bilangan prima. Sebagai contoh, Pepin’s test untuk bilangan Fermat (1877), Lucas-Lehmer test untuk bilangan Mersenne (1856), dan Lucas-Lehmer test yang digeneralisasikan.
Pada abad XX, penggunaan bilangan prima di luar bidang matematika mulai dikembangkan. Pada era 1970-an, ketika konsep kriptografi ditemukan, bilangan prima menjadi salah satu dasar pembuatan kunci algoritma enkripsi seperti RSA.
Banyaknya bilangan prima tak terhingga, berapa pun banyaknya kita menghitung, pasti akan menemukan bilangan prima. Hal ini menjadi teka-teki, jika mengingat bilangan prima tidak dapat dibagi oleh bilangan lainnya. Salah satu hal yang menakjubkan adalah dalam era komputer, kita memberikan kodetifikasi untuk semua hal yang penting dan rahasia dalam angka jutaan bilangan-bilangan yang tidak habis dibagi oleh angka lainnya. Ini diperlukan karena dengan penggunaan angka lain, kodetifikasi tadi dapat dengan mudah ditembus.
Fenomena inilah yang ditemukan oleh ilmuan dari Duesseldorf (Dr. Plichta), sehubungan dengan penciptaan alam, yaitu distribusi misterius bilangan prima. Para ilmuan sudah lama percaya bahwa bilangan prima adalah bahasa universal yang dapat dimengerti oleh semua makhluk sebagai komunikasi dasar. Bahasa ini penuh misteri karena berhubungan dengan perencanaan universal kosmos.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Liez Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipietoon Blogger Template Image by Online Journal